Usia Egy memang masih muda. Umumnya pemain berbakat semuda Egy tidak mendapatkan sorotan “berlebihan” dari pers dalam pengembaraan ke Eropa. Taruhlah Messi sendiri, semasa belia di Barcelona, kepindahan sang GOAT ke Barcelona juga seperti Egy, pindah saat usia masih 17 belasan dari klub Rosario Central, tapi tidak menarik perhatian siapapun. Di La Masia dia sejajar dengan Giovani dos Santos, Busquet, Bojan, sama-sama belajar, tidak ada pers yang mengusik kehidupan mereka di masa bermain di tim muda. Entah Barcelona B, atau Barcelona C.
Tidak ada pers asal negara Messi, Argentina juga yang terus menerus mengabarkan, terus update informasi tentang Messi, sehingga dia hidup dalam perjuangannya sendiri, makan, minum di mess, dikerjai senior, menyemir sepatu, rapihkan dan punguti bola hasil latihan senior. Messi walau berbakat, datang ke Barcelona, tidak dianggap siapa-siapa di Argentina. Bahkan saat dirinya masuk timnas Argentina U-20, pers hanya menyebut dia sebagai Ortega yang lain, Aimar yang lain, yang akan masuk perhatian jika sudah menebus tim senior. Jika belum, dia bukan siapa-siapa.
Bahkan saat dirinya menjuarai Piala Dunia U-20, pers masih tidak mengindahkan Messi. Tingkat junior tidak menarik perhatian pikir mereka. Lalu Messi main beberapa kali di tim utama Barca, pers masih bungkam. Pemain muda diajak main ke tim utama, siapapun melakukannya, tidak ada yang istimewa. Ketika Messi mencetak gol pertamanya, Pers dan media online juga mencibir, lawannya hanya Albacete, klub yang sedang mujur main ke liga utama, dari habitat mereka di Segunda Division. Barulah di akhir musim, pers menggigit pulpen mereka sendiri, ternyata mereka baru saja melewatkan masa hidup pemain paling fenomenal sejagat.
Tapi apakah pers merasa menyesal karena tidak dari awal “mengganggu” kehidupan Messi, dan mengekposnya mulai dari kepindahan dari Rosario? Tampaknya tidak. Prinsip kerja media Barat, adalah siapa yang dipercaya pelatih berulang kali, memainkan permainan yang impresif, adalah yang masuk headline mereka. Suka duka Messi sejak merintis karir itu urusan pribadi Messi sendiri, yang mungkin akan dia ungkapkan di biografi, pers Barat hanya menerapkan prinsip, “apa yang kita lihat itu yang kita dapat” artinya, mereka hanya peduli pada siapa yang turun di atas lapangan dan bikin cerita besar.
Tapi di Indonesia lain cerita. Egy Maulana Fikri diekpos sedemikian rupa oleh pers Indonesia sedari dia mengepak koper, diikuti hingga “mendaftar ulang di Airport”, setiba di Polandia, pers Indonesia terus mengendus Egy secara totalitarian, bukan totalitas lagi tapi totalitarian, sangat komandois, seolah tidak ada hari tanpa Egy, tidak ada Egy tanpa pers. Kini Egy digambarkan menurun, entah mengapa, tim pelatih utama enggan memainkannya karena suatu maksud lebih ke psikologis. Mentalitas Diva memang dilarang keras muncul di antara pemain muda Eropa. Ekpos pers Indonesia ke Egy justru yang menghancurkannya.
Kisah ini pernah juga di alami oleh senior Egy, dimulai dari Kurniawan Dwi Julianto sejak di Serie A dulu, Bambang Pamungkas, kini Egy sendiri. Seharusnya publik Indonesia membiarkan mereka sendirian, seharusnya publik Indonesia tidak perlu kepo terhadap kehidupan hari demi hari mereka selama merantau, biarkan mereka tumbuh dewasa di perantauan tanpa perlu dipandang sebagai dewa bola, yang justru akan menghambat perkembangan profesional pemain lokal yang ingin sukses di luar negeri. Tapi inilah negeri +62.