Site icon Sanfinna

Benarkah Level Pemain Bola Indonesia Di Bawah Pemain Asia Lainnya?

Benarkah Level Pemain Bola Indonesia Di Bawah Pemain Asia Lainnya?

Benarkah Level Pemain Bola Indonesia Di Bawah Pemain Asia Lainnya? – Seorang olahragawan sejatinya bermain di antara level demi level. Mereka menempa diri secara disiplin, seolah gabungan disiplin rahib dengan kerja keras latihan para prajurit. Makan diatur, tidur diatur, hidup penuh aturan, kerja keras latqihan seolah bernafas. Mereka coba naik dari satu level ke level lain. Hingga pada akhirnya mereka mampu berlari lebih cepat dibanding sebulan lalu, tubuh lebih kuat, dibanding seminggu lalu, otak lebih cerdas dan responsif dibanding tahun lalu. Upaya latihan dan tempaan aturan, tidak pernah mengkhianati hasil.

Pesepak bola asal Indonesia harus mau mengerti filosofi kerja dasar itu. Kedisiplinan adalah jalan menuju sukses dalam segala hal termasuk sepak bola. Indonesia sama seperti negara Asia lain, punya modal antusiasme juga kecintaan dalam sepak bola, bahkan lebih besar lagi tercermin pada suporternya, juga para pemain mudanya. Modal itu sangat besar. Pemain remaja lokal asal Indonesia tidak jarang menjuarai lomba di luar negeri, karena mereka sangat menyintai sepak bola.

Namun, kecintaan pada sepak bola itu tampaknya belum menjelma jadi cinta di level berikutnya, cinta di level berikut adalah dedikasi, dedikasi adalah cinta yang bermakna pengorbanan, sehingga terkadang ada kalanya pemain Indonesia bermain bagus saat muda, tapi beberapa musim berikutnya saat menjadi pemain matang dia flop. Artinya tidak ada dedikasi yang tercermin dalam konsistensi. Sepak bola tidak dilihat sebagai arena professional, yang harus terus meningkatkan diri.

Ambil contoh Brylian Adama dia pernah bilang pada wartawan Kompas, “Saya yang penting bisa bermain di mana saja, yang penting juga bisa berkarier di luar negeri itu sudah bangga.” Dik Brylian, jika bermain karir di luar negeri saja bangga, maka Andik Vermansyah, Ricky Yakobi, Rocchi Putiray, juga melakukannya, tidak ada yang istimewa dari bermain di luar negeri, bahkan hingga berprestasi seperti Putiray itu harusnya hal yang sangat biasa, karena kita mengenal kualitas Rochi sebagai salah penyerang terbaik asal Indonesia, namun menjadi luar biasa karena dia berhasil buktikan diri di luar kandangnya. Rochi semestinya menjadi contoh bagi pemain muda kita. Di manapun dia diberikan bola di tengah lapangan, dia akan memuaskan semua orang yang dia bela benderanya.

Pendapat egosentris yang diutarakan Brylian Adama yang merupakan salah satu pemain judi bola di bandar bola, sehingga mengatakan yang terpenting pada “dirinya bisa bangga”, sejatinya bukan bagian dari professionalitas pula sportifitas, karena fokusnya kepada kepuasan pribadi bukan kepada apa yang dia berikan untuk calon tim yang akan membayarnya untuk perform. Tidak ada dedikasi pada pernyataan anak muda kita di Indonesia itu, yang konon disebut the Next Big Thing setelah Egy Maulana Fikir, membuat diri kita bertanya-tanya, apakah hanya sampai di level ini Indonesia bicara?

Mentalitas dedikasi adalah yang membedakan antara pemain muda Korea dengan pemain muda Indonesia. Evan Dimas misalnya, dia pernah mengalahkan Hwang Hee-Chan di gelaran piala Asia U-18. Tapi kini Hwang Hee-Chan jadi andalan di Red Bull Salzburg, mencetak gol dan assist penting di Liga Champion Eropa. Tidak butuh lama Hwang Hee-Chan akan bermain di klub top dunia dan meraih gelar demi gelar demi mengharumkan nama Korea Selatan sebagai negara Asia yang selalu melahirkan pemain sukses di Eropa. So. Level pemain muda Indonesia tidak pernah di bawah Korea, Jepang, bahkan China. Mereka hanya perlu belajar dedikasi dan rendah hati.

Exit mobile version